BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belaang
Undang-undang
Dasar 1945, Pasal 31, Ayat (1) tentang hak setiap Warga Negara Indonesia untuk
memperoleh pendidikan, sesungguhnya telah mengamanatkan bahwa
segenap masyarakat Indonesia harus mendapat pendidikan yang merata dan adil.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Pendidikan No.20 tahun 2003, juga
menyiratkan bahwa pendidikan yang ada seharusnya mampu memanusiakan manusia
Indonesia menjadi manusia yang utuh, yakni masyarakat yang cerdas,
berbudi luhur , berhaklak mulia serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Antara
Undang-undang 1945 dan Undang-Undang Pendidikan no. 20 tahun
2003 memiliki keterkaitan yang erat. Maka penting bagi Pemerintah untuk
memperhatikan aspek pendidikan bagi bangsa ini, agar rakyat Indonesia dapat
maju, berkembang dan kompetitif di tengah pesatnya laju peradaban dunia saat
ini. Pertanyaannya apakah antara cita-cita luhur yang tertuang
dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional sudah dilaksanakan dengan baik dan telah dinikmati
oleh segenap rakyat Indonesia?
Ada banyak
persoalan terkait dengan kualitas pendidikan bangsa Indonesia ini. Tidak bisa
dipungkiri bahwa maraknya demo yang bermunculan di tengah hiruk-pikuk
menurunnya rasa sosial dan moralitas bangsa kita ini, bertebarannya
kritikan-kritikan pedas yang lahir dari para praktisi dan elemen
masyarakat yang peduli terhadap kualitas pendidikan bangsa ini,
menunjukkan betapa bobroknya kualitas pendidikan bangsa kita ini.
Pendidikan
yang baik adalah saripati dari sebuah proses pencerdasan sebuah bangsa. Namun
tatkala terjadi distorsi di wilayah pendidikan, khususnya pendidikan nilai dan
moral, ini adalah indikasi mulai hancurnya peradaban sebuah bangsa. Dengan kata
lain ini adalah pratanda bahwa negeri yang sedemikian itu sudah tidak
cerdas lagi dalam menata dan mengelola bangsanya. Hal ini tentu
tidak bisa dibiarkan.
Sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia, merasa prihatin dengan kondisi ini. Ada apa
dengan pendidikan Indonesia. Bagaimana sesungguhnya visi dan misi
pendidikan kita ini? Mau diapakan bangsa ini. Tetap apatis, berjalan di
tempat, atau dibuat melangkah maju namun tanpa arah dan tujuan yang jelas?
Mencermati
kondisi dan system pendidikan di Indonesia saat ini, bahwa pemerintah kita ini
tidak memiliki konsistensi dalam tata kelola, sangatlah
disayangkan. Visi dan misi pendidikan Nasional dengan landasan filosofisnya
yang sangat luhur semestinya pendidikan di negara kita ini sudah jauh
berkembang setelah merdeka kurang lelih 60 tahunan.
Sangat
disayangkan bahwa pondasi kokoh dari seorang pahlawan
sekaligus tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara, tidak punya roh
lagi. Model pembelajaran yang berbasis kultur bangsa ini, telah
berangsur punah. Ganti menteri, ganti kebijakan. Kebijakan yang munculpun kalau
dicermati adalah adopsian dari model Barat yang senantiasa mendewakan
teknologi. Pertanyaannya, sudah siapkah bangsa ini? Sudah berkualitaskah anak
bangsa ini untuk menggunakan piranti dan sarana berteknologi tinggi ala
Barat itu?
Disinilah
kualitas pendidikan kita diuji dan dipertaruhkan. Pemaksaan terhadap teknologi
tanpa melihat SDM yang menggunakan, justru akan perimplikasi sebaliknya.
Jangankah untuk mutu, sunyatanya untuk mendapat pemerataan pendidikanpun, pemerintah
belum mampu.
Para
lulusan anak-anak bangsa ini, mulai celepotan. Setelah menamatkan
tertentu, mereka kebingungan mencari peluang kerja. Banyak yang mampu
menamatkan pendidikan, namun yang menganggur jauh lebih banyak. Apakah ini
tujuan pendidikan sesungguhnya?. Tentu tidak. Pendidikan bertujuan mengentaskan
kemiskinan yang berawal dari akumulasi keterbelakangan dan
pengangguran yang salah satu penyebabnya adalah rendahnya mutu pendidikan
itu sendiri.
Realitas
Pendidikan Indonesia saat ini benar-benar berada di ambang kebingungan. Para
pemegang otoritas di bidang pendidikan, khususnya Pemerintah, tampak
tidak berdaya. Muncul euporia “ ganti menteri ganti kebijakan”. Persoalannya,
siapa berani dan punya kemampuan untuk merubah?
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana keterkaitan
antara UU45 dan UU Pendidikan Nasional (Sindiknas)
No.20 tahun 2003?
2. Mengapa muncul banyak isu-isu
kritis sekitar pendidikan?
- Bagaimanakah realitas pendidikan Indonesia saat ini?
C. Tujuan
- Mengetahui sejauh mana keterkaitan antara UU 1945 dan Undang-Undang Pendidikan Nasional(Sindiknas) No.20 tahun 2003?
- Mengetahui mengapa muncul banyak isu-isu kritis sekitar pendidikandan di Indonesia ini?
- Mengetahui realitas pendidikan Indonesia dan solusi apa yang seharusnya diambil pemerinrtah?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KETERKAITAN ANTARA UU 1945-UU Sistiknas No. 2o Tahun 2003
Kalau saja jujur, antara esensi dan
kenyataan yang ada terkait dengan pendidikan kita di Indonesia, sangat jelas
bahwa antara harapan(das sollen ) dan realitas (das sein), sangatlah jauh
melenceng. Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan agar pendidikan itu dinikmati
oleh seluruh rakyat Indonesia secara merata dan adil untuk mengentaskan
kemiskinan, memberikan pendidikan yang berkeadilan, dan membebaskan dari
kebodohan. Pada kenyataannya? Dua fakta ini terkesan antara langit dan bumi.
Munculnya
berbagai kebijakan pemerintah dengan undang-undang pendidikan sejak Indonesia
merdeka, telah mengindikasikan bahwa esensi pendidikan itu kurang mendapat
porsi penanganan yang pasti dan inkonsistensional. Sebut saja
munculnya: Kurikulum berbasis KTSP, UN (Ujian Nasional), UU
BHP yang akhirnya ditolak di MA, dan masih banyak yang lainnya.
Menurut
Pemerintah, lahirnya Ujian Nasional adalah sebagai alat untuk mengukur
mutu pendidikan nasional. Disinyalir oleh kalangan birokrasi kependidikan bahwa
tingkat kelulusannya cukup bagus. Kenyataannya ternyata hampir menurun tiap
tahun. Sebagai contoh, tingkat kelulusan SMA/SMK di Bali tahun 2010
menurun dari sebelumnya yakni: dari 93,74 menjadi 89,88. Berdasarkan
data Badan Standar Nasional Pendidikan, terdapat 154,079 siswa yang tidak lulus
dari total peserta 1.522.162 siswa yang ikut ujian di seluruh Indonesia.
Kalau demikian benarkah UN layak sebagai alat untuk mengukur dan
mengevaluasi kualitas mutu pendidikan nasionals? Secara teoritis mungkin
benar.
Digulirkannya
kebijakan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan penyelenggaraan
UN ini sangatlah tidak rasional. Mengapa? Lihat saja kelulusan anak-anak
sekolah dari level sekolah dasar hingga menengah atas. Prosentase kelulusan
dari tiap-tiap kabupaten/kota, hingga ke provinsi, juga semakin menurun
tiap tahun. Ini baru di Bali. Bagaimana dengan di tempat yang lain?
Melihat
realitas tersebut, kebijakan Ujian Nasional ini seharusnya perlahan-lahan
dihapuskan saja. Dengan melihat realitas di lapangan, betapa banyaknya rakyat
Indonesia yang kecewa karena anaknya tidak lulus. Khususnya mereka yang berasal
dari rakyat miskin. Apakah ini sesuai dengan esensi dari tujuan UU 1945 terkait
dengan Pendidikan di Indonesia? Jangankan pemerataan dan keadilan pendidikan
yang diharapkan mampu membebaskan mereka dari kemiskinan, namun justru
sebaliknya bahwa telah menghancurkan harapan mereka di tengah sulitnya
untuk bertahan hidup, dan membiayai sekolah anaknya agar tidak droup out.
Ironisnya lagi, dengan isu tidak adanya ujian susulan bagi peserta UAN yang
tidak lulus, menurut hasil akhir perdebatan antara Mendiknas dengan
wakil rakyat, betapa tidak menambah beban orang tua siswa anak-anak
bangsa ini. What the joke?
UAN
adalah suatu bentuk evaluasi hasil belajar yang dilakukan terhadap peserta
didik untuk mengetahui tingkat keberhasilan mereka dalam menyerap pengetahuan
yang diberikan. Oleh karena itu, evaluasi adalah suatu hal yang wajib dilakukan
dalam dunia pendidikan untuk mengetahui tingkat keberhasilan itu. Masalahnya
apakah evaluasi itu dilakukan oleh orang/lembaga/institusi yang
mengetahui seberapa jauh proses belajar yang dilakukan oleh peserta didik.
Faktanya sangatlah berbeda.
Dalam UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 58 ayat
(1) dikatakan” Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan”. Dari ayat ini sudah diketahui bahwa yang berhak dan
berkewajiban menyelenggarakan evaluasi terhadap peserta didik atas proses hasil
belajar adalah pendidik alias GURU. Hal ini karena guru-lah yang paling tahu
tentang proses belajar murid dalam kelas, guru-lah yang paling mengerti tentang
kemajuan siswa dalam proses belajar itu. Itulah salah satu fungsinya
guru. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan bahwa Negara (baca: pemerintah/depdiknas)
menyelenggarakan UAN yang berfungsi sebagai evaluasi hasil belajar dan juga
sebagai penentu kelulusan/keberhasilan peserta didik. What the joke? Apa yang
pemerintah tahu tentang proses belajar di kelas? Apa yang pemerintah
tahun tentang kemajuan prosaes pendidikan? Apa yang pemerintah tahu
tentang seberapa jauh seorang peserta didik bisa mengikuti tingkat pendidikan
itu. Nothing. Menteri Pendidikan terdahulu, Bambang Sudibyo mengatakan bahwa
tingkat kelulusan UAN di SMU telah mencapai diatas 90% What bullshit? Semua
orang tahu bahwa kualitas mutu pendidikan di Negara kita sangatlah jomblang.
Perdebatan seputar mana yang harus
diprioritaskan, apakah kualitas pendidikan atukah pemerataan pendidikan, adalah
seperti memperdebatkan mana yang lebih dahulu, ayam atau telur. Jawabnya
bisa keduanya. Namun jika kondisi dimana pendidikan menjadi suatu alat
membangun manusia, maka pemerataan pendidikan haruslah mendapat tempat
utama. Logikanya, Negara kita bertujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya (
lihat Pembukaan UUD 1945). Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia
yang terdidik, baik intelektualitasnya, emosinya, maupun
perilakunya. Dan pembangunan itu hanya, dan hanya bisa didapat mmelalui
pendidikan. Oleh karena pendidikan menjadi alat utama dan terutama dalam
membangun manusia. Jelaslah dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sekarang ini
adalah kesempatan memperoleh pendidikan yang seadil-adilnya bagi seluruh rakyat
Indonesia. Setelah semua anak negeri ini mendakapatkan kesempatan yang sama
untuk memperoleh pendidikan, barulah benar kita berbicara tentang
kualitas.
Menurut
BPS tahun 2003, angka buta huruf di Indonesia yang berusia di atas 10 tahun
mencapai 9,07 % atu 15,5 juta orang. Apa artinya angka ini? Artinya pendidikan
belum merata di negeri ini, karena masih banyak rakyat yang bahkan masih
belum bisa membaca dan menulis. Lalu bagaimana bisa berpikiir
mendahulukan kualitas pendidikan sedangkan pendidikan masih belum merata
di negeri ini?
B. MARAKNYA DEMO DAN ISU SEKITAR
PENDIDIKAN
Bukan
rahasia lagi bahwa antara output dan outcome yang dihasilkan oleh sebuah
proses lembaga pendidikan di Indonesia tidak memuaskan dari tahun ketahun. Maka
tidak heran bahwa demopun tidak terhindarkan, walaupun masih dalam
koridor yang wajar.
Demo yang
kritis muncul karena distorsi di bidang pendidikan di tiap wilayah
berbeda di Indonesia. Kita tidak bisa membandingkan kualitas pendidikan
di Papua dan di Jakarta. Itu tidak ubahnya membandingkan kecepatan lari kuda
dengan siput. Semua orang tahu bahwa ada disparitas. Lalu ketika ada ujian
nasional yang terstandarisasi, kita memakai standar yang mana? Ada yang
dilupakan oleh para penentu kebijakan pendidikan di Negara ini, yakni
filosofi pendidikan, hasil ujian bukanlah salah satu indikator keberhasilan
pendidikan. Proses sebuah pendidikan jauh lebih esensial. Maka
keberhasilan pendidikan juga tidak bisa dilihat dari kertas nilai hasil ujian
dengan nilai sekian dan ada cap LULUS (yang ditentukan pemerintah).
Pendidikan
adalah proses membangun manusia seutuhnya. Bukan hanya membangun kecerdasan
(intelektual) belaka, tapi juga membangun dan meningkatkan afeksi dan
motorik. Pemerintah tentu tidak perlu diajari lagi masalah ini.
Akhir-akhir
ini muncul lagi kebijakan yang meresahkan lembaga pendidikan swasta.
Ditetapkannya BHP yang mana oleh pemerintah dianggap sebagai instrument untuk
menakar pendirian dan rekrutmen peserta didik dalam suatu wilayah,
sangatlah memberatkan. Lembaga swasta adalah lembaga independent yang
mencari peluang dari menjual kualitas jasa pendidikan. Jika dibatasi, diatur
dengan Permen dan ketentuan lain, akan banyak lembaga pendidikan swasta yang
gulung tikar. Selanjutnya akan muncullah peodalisme pendidikan. Sekolah
negeri dengan materai milik pemerintah akan menjadi raksasa di wilayah
pendidikan? Jelas adalah kebijakan yang tidak arif dan melanggar Undang-Undang
Dasar 1945 tentang kemerdekaan setiap warga untuk mendapatkan pendidikan.
Selama
kurun waktu hampir 60 tahun lebih sejak Indonesia merdeka, sekolah swasta
adalah mitra kerja dalam upaya memajukan pendidikan di tanah air Indonesia.
Kalau boleh jujur, sekolah swasta bahkan merupakah pilihan utama (primadona)
masyarakat dalam menentukan dimana anaknya harus disekolahkan. Swasta yang
tertib, desiplin, lengkap sarananya, dan lain-lain, merupakan image positive yang
tidak bisa dilihat sebelah mata. Maka adalah tidak fair jika kemudian
ada aturan semacam BHP. Adakah pemerintah akan menjadikan proses
pengembangan baik kuantitas maupun kualitas pendidikan dengan pendirian dan
rekrutmen siswa sebagai proyek? Hanya yang memikirkan BHP yang tahu jawabnya.
Jika itu maksud dan tujuannya maka niscaya Negara kita ini akan
semakin terpuruk dan terperosok dalam lubang problematika antara mutu dan
proyek para pemegang otoritas.
Tidak
kalah ramainya, terkait dengan Kurikulum berbasis KTSP yang berbanding linear
dengan pelaksanaan desentralisasi. Yang benar saja. KTSP kini menjadi
sebuah “ Joke”. KTSP bukanlah kepanjangan dari kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan, namun “Kurikulum Tidak Siap Pakai.” Tentu gunjingan
ini sangat beralasan. Semua perubahan instrument yang dirujuk oleh
Pemerintah tak lebih hanyalah sebuah inovasi” trial and error”. Hal hasil,
semakin tampak bahwa karakter dan mutu pendidikan kita semakin tidak jelas arah
dan tujuannya.
C. ANTARA REALITAS DAN SOLUSI?
Mutu
pendidikan kita secara nasional dapat dikatakan masih sangat memprihatinkan.
International Education Achievement (IEA) memperlihatkan kemampuan mambaca
siswa SD Indonesia menempati urutan 30 dari 38 negara. The Third
International Mathematics and Science Study Report (1999) melaporkan kemampuan
siswa Indonesia dalam bidang matematika dan IPA berurutan menempati
urutan 34 dan 32 dari 38 negara. UNDP, badan pembangunan PBB,
melaporkan Human Development Index (HDI, Indeks Pembangunan Manusia), tahun
2002 dan 2003 berurutan menempati urutan 110 dari 173, dan 112 dari 175
negara. HDI adalah salah satu komponennya indeks pendididkan.
Dari
data tersebut dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan kita sebagai Negara
yang sudah cukup lama merdeka masih sangat rendah. Inilah adalah fakta yang
jika tidak dengan arif dan bijaksana diformulasikan pemerintah dan para
pemegang otoritas di bidang pendidikan dan dilaksanakan dengan
tanggungjawab, maka Negara ini tidak akan pernah maju dan berkembang di
tengah kompetisi Negara-negara berkembang lainnya.
Kembali
kepada visi dan misi pendidikan awal yang telah diletakkan secara
fundamental oleh Bapak Pendidikan nasional kita, Ki hajar Dewantara, dan
mengkemas strategi Pengembangan Pendidikan yang sesuai dengan kultur
Bangsa dan selektif dengan kemajuan IPTEK, adalah jawabannya. Kita tidak ingin
hanyut di tengah derasnya gelombang kompetisi global, namun berupaya ikut
secara alami maju bersama gelombang tanpa menghilangkan karakter bangsa yang
Adiluhung ini.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Melihat realitas di lapangan bahwa
kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, selayaknya
pemerintah bercermin dan belajar dari pengalaman yang lalu dan berbenah untuk
yang saat ini dan saat yang akan datang.
Peraturan
perundangan yang digulirkan seyogyanya digodok dengan matang dengan melibatkan
tokoh dan praktisi pendidikan di seluruh Indonesia. Karena merekalah yang
tahu dan mengalami secara langsung, bukan bara wakil rakyat di gedung
parlemen. Pemerintah hendaknya konsisten dengan program yang benar-benar telah
dirancang secara inspiratif dari kehendak rakyat tanpa takut mengeluarkan
atau menambah biaya dari APBN demi peningkatan mutu pendidikan yang
berimplikasi pada mutu manusia Indonesia sendiri. Jika tidak, demo dan kritikan
akan tiada hentinya bermunculan.
B. SARAN
Masyarakat Indonesia sampai saat ini
adalah masyarakat yang berbudaya, dan tidak kalah cerdas dengan bangsa lain.
Namun ketinggalan dalam kompetisi mencapai kemakmuran, yang bermula dari
SDM-nya yang belum handal. Karena itu adalah bijaksana jika segenap
komponen pendidikan, rakyat, para stakeholders, pemerintah, maju dan
berjuang bersama pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar
terbebas dari belenggu kebodohan dan ketertinggalan karena tidak adanya
kemerdekaan dalam mendapatkan pendidikan yang merata dan layak.
DAFTAR PUSTAKA
Al Mucthtar, S. 2006.
Pendidikan nilai moral dalam dimensi pendidikan
Mahud C. 2008
pendidikan multikultural. Pustaka belajar . Yokyakarta.
Undang-undang
pendidikan no 20 tahun 2003