Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kepala berarti juga pemimpin. Tapi
dalam kenyataan sehari-sehari seorang kepala belum tentu seorang
pemimpin. Mengapa? karena untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan
kecakapan yang tidak cuma sebatas dia bisa menjadi seorang kepala.
Makin tinggi seorang pemimpin, seharusnya makin tinggi hakekat hidupnya,
bukan duniawinya. Ketika seseorang berada dalam posisi memimpin sebuah
negara, sebuah yayasan, sebuah organisasi, atau sebuah rumah tangga,
seharusnya seseorang lebih berfikir tentang hakekat kepemimpinan itu
sendiri bukan cuma sekedar sebuah posisi duniawi.
Menggali hakekat kepemimpinan dalam budaya Jawa, sesungguhnya menjadi seorang pemimpin adalah sebuah jalan untuk mukti bukan sekedar untuk mencapai mulyo.
Mukti adalah sebuah jalan pengabdian bukan sekedar mencapai kemulyaan.
Menjadi seorang pemimpin harus berani mengatakan yang benar adalah benar
dan yang salah adalah salah. Sebuah kebenaran memang pahit untuk
disampaikan dan besar resiko yang akan dihadapi. Tapi bagaimanapun
kebenaran harus disuarakan oleh seorang pemimpin, sekalipun dia harus
berhadapan dengan orang-orang yang tidak menyukainya dalam kebenaran.
Seorang pemimpin juga harus memiliki rasa ikhlas yang harus terbangun
dari hari ke hari dan terus meninggi seiring jalan pengabdian yang
dipilihnya. Keikhlasan akan membuat seorang pemimpin selalu mawas diri
demi kepentingan bersama. Rasa ikhlas tidak bisa dijalankan sendiri,
seorang pemimpin harus memiliki orang-orang kepercayaan di sekelilingnya
yang akan dengan ikhlas juga memberikan masukan, saran bahkan kritik
yang membangun demi kebaikan yang harus dijaga bersama.
Adakalanya seorang pemimpin tidak harus berada di depan. Bisa jadi ia
menyisih ke pinggir lapangan, bahkan surut sementara ke belakang untuk
memastikan bahwa armada yang dipimpinnya baik-baik saja. Pada saat sang
pemimpin berada di pinggir atau di belakang , ia akan lebih mudah
melihat ke seluruh ruang yang dipimpinnya. Ia akan mendengar banyak hal
dari orang-orang di luar wilayah kepemimpinannya sebagai sebuah masukan
yang berarti untuk memperbaiki sikap dan mengambil keputusan di saat
yang tepat demi keselamatan armada yang dipimpinnya. Meski di belakang,
seorang pemimpin bisa mengarahkan jalannya roda organisasi dengan
dukungan yang kuat dari orang-orang yang dipercayanya memegang kemudi.
Di saat lain, seorang pemimpin harus mampu menjadi koco pengilon atau
cermin bagi siapapun yang berada dalam pengayomannya. Namun demikian,
seorang pemimpin tetaplah manusia yang bisa salah. Tapi hakekat
kepemimpinan harus dipahami bahwa kesalahan bisa diminimalisir sekecil
mungkin. Ini bagian yang terberat bagi seorang pemimpin. Ia harus pandai
menjaga sikap, perilaku, ucapan dan perintah. Karena ia menjadi cermin
bagi sekelilingnya. Managemen emosi dan mental harus benar-benar
dikuasainya agar bisa tetap memberikan kenyamanan bagi yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin yang ikhlas, adalah pemimpin yang tidak cuma merasa jadi kepala, melainkan melu handarbeni, merasa
memiliki terhadap apa yang dipimpinnya. Ibarat seorang ibu memiliki
anaknya, seorang ayah memiliki keluarganya. Ibarat seorang kapten
terhadap kapal dan seluruh isinya. maka apapun akan dilakukannya untuk
menjaga keselamatan, kebaikan dan kebersamaan di dalamnya. Apapun,
selagi dalam jalur kebaikan yang dibenarkan. Itu sebabnya kadang sebagai
seorang kapten kapal, ia harus tegas meski berat hati untuk melemparkan
satu-dua penumpang yang rentan membahayakan banyak orang, ke laut, demi
menyelamatkan ratusan orang lain dalam kapal yang dikemudinya.
Bagaimanapun menjadi seorang pemimpin adalah pengemban amanah yang kelak
akan dipertanggungjawabkan di mahkamah paling adil dengan Allah sebagai
seadil-adilnya hakim. Seorang pemimpin adalah penyuara kebenaran. Meski
kadang kebenaran tidak perlu digembar gemborkan. Adakalanya ia harus
bersikap tuli terhadap protes yang meneriaki kewarasan dan keadilan dari
segelintir orang yang nyata adalah virus yang memang harus diberangus.
Seorang pemimpin yang sehat, tidak akan berteriak,"saya waras, saya
sehat." Karena diam kadang diperlukan untuk membungkam sebuah
kenyinyiran yang disuarakan atas nama keangkuhan jiwa.
Jika Abu Bakar Shiddiq, RA dikenal sebagai pemimpin yang lemah lembut,
sederhana dan welas asih, maka Umar Bin Khattab selain memiliki rasa
empati yang luar biasa terhadap rakyatnya, dia dikenal tegas bersikap
atas sebuah kebenaran dan mematahkan keonaran. Aku cuma manusia biasa,
tapi ketika amanah kepemimpinan diletakkan dalam genggam tanganku, maka
semoga aku bisa bersikap serupa Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khattab
dengan tetap meengacu pada prinsip agung kepemimpinan dalam budaya Jawa
yang turun temurun diajarkan padaku. Semata karena mengacu pada sebuah
hadits,"setiap orang adalah pemimpin yang akan dimintakan
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."