Demam postmodernisme di Indonesia telah ada sejak awal kemunculannya di awal tahun 1990. Pada masa itu wacana terhadap posmodernisme sendiri kurang mendapat apresiasi yang positif. Hal ini karena bangsa Indonesia tengah disibuki dengan urusan politik dan persoalan degradasi ekonomi yang tidak kunjung kondusif, sampai saat ini. Meskipun demikian realitas postmodernisme telah hadir menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang ditandai dengan munculnya beragam teknologi informasi, seni, budaya urban, sampai gaya hidup.
Di dalam dunia senisastra, postmodernisme dapat terlihat dalam bentuk estetika yang ke luar dari pola yang biasanya ada. Kalau pada zaman sebelum modern (kebudayaan tradisi) dapat terlihat dalam karya puisi yang menggunakan bahasa daerah atau puisi-puisi berbahasa Indonesia yang isinya cenderung mendeskripsikan budaya lokal, seperti pada syair atau pantun.
Ketika zaman modern dapat dilihat pada puisi-puisi modern pada umumnya, seperti puisi Chairil Anwar, WS Rendra, Taufik Ismail dan sebagainya. Zaman postmodernisme terlihat pada pola estetika dalam puisi konkret Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Remy Sylado, Ibrahim Sattah, Yudhistira ANM Massardi, dan sebagainya.
Bentuk estetika puisi postmodernime sering dicap sebagai puisi embelingf. Dalam sastra cerpen dan novel nama Iwan Simatupang dan Ugoran Prasad menjadi yang terdepan dalam mengadopsi estetika postmodernisme.
Estetika postmodernisme lahir karena adanya kejenuhan terhadap pola estetika yang selama ini ada, mereka merasa bosan dengan aturan-aturan konvensional yang mengikat dalam sebuah bentuk karya sastra. Mereka beranggapan, kata-kata indah yang penuh dengan kiasan telah habis digunakan oleh pengarang sebelum mereka.
Tidak hanya dalam bentuk estetika karya sastra, postmodernisme juga melanda dalam hal pembulikasian karya sastra yang dibuat oleh pengarang. Pada era pujangga lama yaitu sebelum abad ke-20 hanya dapat terpublikasi lewat lisan, sedangkan publikasi lewat tulisan hanya dilakukan sebagian kecil dengan media kulit kayu dan hewan. Kemudian beralih ke angkatan Balai Pustaka dimana publikasi karya sastra hanya dimonopoli oleh penerbit Balai Pustaka dengan proses pengeditan yang cukup ketat karena kepentingan politik. Selanjutnya muncul angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950-1960-an, Angkatan 1966-1970-an, hingga ke Angkatan 2000, dan yang terakhir adalah Cyber sastra.
Sastra Postmodernisme
Sebagai sebuah produk dari kebudayaan masyarakat, sastra juga harus mengikuti dan mengimbangi kemajuan peradaban di bumi, agar sastra tidak tenggelam dan tergerus dalam kemajuan era globalisasi. Seperti halnya postmodernisme yang mengklaim dirinya sebagai sebuah zaman sesudah zaman modern yang mulai usang, bentuk pembulikasian dan estetika sastra juga harus bisa dengan cepat berubah meninggalkan zaman modern. Misalnya kalau pada zaman sebelum modern bentuk estetika dan pemublikasian sastra hanya sebatas lewat lisan dan kulit hewan; di zaman modern hanya berkutat pada media publikasi kertas, maka di era postmodernisme publikasi dan estetika karya sastra dilakukan lewat dunia digital.
Dunia internet@memasuki komunitas sastra Indonesia. Banyak karya sastra yang tidak dipublikasi ke dalam buku namun termaktub di dunia maya (Internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit, mau pun@situs pribadi.
Dalam era sastra postmodernisme perkembangan dunia kesusastreraan menjadi lebih beragam. Karena pengarang dapat dengan bebasnya membuat karya sastra yang dapat diakses oleh masyarakat pembaca. Tidak hanya itu penilaian terhadap karya sastra yang merupakan dasar dari kritik sastra menjadi terbuka lebar, karena masyarakat pembaca dapat menilai secara langsung karya sastra yang dibacanya lewat komentar-komentar yang ditinggalkannya.
Beberapa media maya berbasis web yang khusus dalam bidang sastra antara lain; palapa.com, cybersastra.net, dan kemudian.com. Media maya yang berbasis micro blog tak terhitung jumlahnya. Di Sumatera Utara khususnya di Medan sendiri sastra digital merupakan bagian dari era sastra postmodernisme sudah pernah ada yaitu sastramedan.com namun karena kurangnya apresiasi dari pengarang, pembaca, maupun kritikus sastra situs ini kemudian tenggelam ditelan waktu.
Semangat sastra postmodernisme di Medan khususnya ternyata belum sepenuhnya padam. Hal ini terbukti dengan munculnya situs web baru dalam bidang sastra yang diberi nama letterater.com. Dengan tampilan dan fitur yang lebih nyaman dari sastramedan.com, letterater.com mencoba untuk mewadahi penulis dunia maya lewat basic jejaring sosial dimana semua orang bebas menulis dan berdiskusi tentang karya sastra yang ditulis di dalamnya.
Palit Hanafi Lubis dan Bambang Saswanda Harahap adalah pembuat situs web pertama jejaring sosial sastra yang ada di Indonesia ini. Dua pemuda berdarah Batak ini sadar betul, membudayakan menulis dan membaca harus juga dibarengi dengan selera dan kondisi keadaan zaman. Hasilnya cukup menggembirakan 300 member telah dijaring oleh situs yang belum dilaunching ini, dan setiap hari ada sekitar hampir 200 tulisan tentang karya sastra puisi dan cerpen yang dihasilkan oleh membernya (penulis dunia maya).
Pada realitasnya era sastra posmodernisme kurang mendapatkan tempat dalam peta kesenian Indonesia. Hegemoni era sastra modern masih belum tergantikan, sehingga banyak pengarang di dunia maya (era postmodernisme) meskipun memiliki kualitas karya yang melebihi dari pengarang yang menerbitkan buku, terbit di koran dan majalah belum bisa dipandang sebagai seorang sastrawan yang besar.
Era sastra postmodernisme memang belum semeriah era sastra modern Indonesia. Eksistensinya juga tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi diabaikan. Mengingat dan mengutip tokoh semiotik sastra Michael Riffaterre rasa estetika manusia selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman (Pradopo, 1995).
Akan selalu terjadi dinamika dalam dunia kesastraan Indonesia dari masa ke masa. Dengan demikian, ada kemungkinan era sastra postmodern akan menumbangkan hegemoni era sastra modern saat ini.