KERAJAAN DOMPO


Ekspedisi Majapahit
situs Warukali keadaannya sangat memprihatinkan karena sejumlah bata yang terdapat di situs ini juga banyak yang dimanfaatkan masyarakat untuk pembangunan rumah-rumah penduduk. Bahkan pernah terjadi penggalian liar di lokasi ini, karena menurut masyarakat setempat kawasan tersebut dicurigai menyimpan harta karun. Akibat penggalian liar ini adalah rusaknya sejumlah bata material bangunan kuno tersebut. Temuan bata berukuran besar ini tersebar dalam radius lebih luas di wilayah ini di antaranya di Doro Empana, Doro Ngao dan bahkan di wilayah Sambitangga, temuan bata ini digali habis untuk material pembangunan rumah.
Di lokasi ini juga ditemukan sejumlah keramik yang masih utuh semacam piring dan mangkok Cina yang diperkirakan berasal dari Dinasti Yuan (abad 14 - 15 M). Sehingga secara makro, hubungan antara kawasan sekitarnya ini merupakan kesatuan wilayah dan budaya pada masa lalu, dilihat dari penemuan sejumlah benda arkeologi seperti keramik. Temuan data ini juga didapat di areal kuburan bersebelahan situs Warukali. Menurut informasi masyarakat setempat, bata kuno tersebut ditemukan cukup banyak di areal kuburan, sehingga pada waktu penggalian liang kubur, bata-bata ini diangkat dari dalam galian sedalam 1 m dari permukaan tanah. Nama Warukali yang dikenal sekarang pada mulanya merupakan gelar penobatan seorang tokoh agama Islam -- gelar tersebut mengandung simbol delapan sifat kepemimpinan yang harus ditaati seorang tokoh atau pemimpin.
Adanya dugaan penobatan tokoh di wilayah ini kemungkinan karena secara historis wilayah tersebut dipandang penting sejak zaman Hindu, sehingga dalam perkembangan belakangan pada masa masuknya pengaruh Islam kawasan ini juga diberikan kehormatan sebagai tempat penobatan tokoh penyebar agama Islam.
Nama Warukali secara monumental tetap dikenal sampai sekarang. Berdasarkan bukti-bukti sejarah Walwaktikta, kebesaran Majapahit memang sampai menguasai wilayah ini. Seperti disebutkan dalam kitab Negara Kertagama, bahwa dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1389), seluruh negeri di Pulau Sumbawa yaitu pulau Taliwang, Dompu, Sapi, Sanghiang Api, Bima, Seran, dan Utan Kadali menjadi daerah Kerajaan Majapahit.
Dalam cerita mengenai kerajaan Dompu pada zaman pemerintahan Mawaa Taho, yaitu tahun 1357, ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Laksamana Nala dan dibantu oleh laskar dari Bali yang dipimpin oleh Pasung Gerigis berhasil menaklukan Dompu dan daerah sekitarnya. Sejak saat itulah Dompu bernaung di bawah kekuasaan Majapahit. Tercatatnya Kerajaan Dompu sebagai salah satu target penguasaan Majapahit karena dipandang Kerajaan Dompu strategis pada saat itu. Kerajaan Dompu sudah dikenal petinggi Majapahit sejak pemerintahan Tribuwana (1328 - 1350).
Dalam sejarah Dompu disebutkan, kelahiran Dompu sebagai cikal bakal kerajaan telah dimulai sejak abad ke-7 yaitu pada zaman Sriwijaya. Sebab, dalam cerita rakyat yang berkembang di Dompu disebut-sebut bahwa Sang Kula (cikal bakal Raja Dompu) yang juga dikenal dengan sebutan Ncuhi Patikula mempunyai seorang putri yang ia kawinkan dengan putra Raja dari Tulang Bawang dan atas kesepakatan para Ncuhi ia dinobatkan sebagai raja Dompu yang berkedudukan di Negeri Tonda -- sekitar 10 km arah selatan Dompu. Sampai kini, jejak budaya Majapahit masih tersebar di kawasan ini.
Bentuk Bangunan
Di situs Warukali dekat Doro Bata ditemukan sejumlah rerutuhan dan susunan struktur yang tidak beraturan. Secara morfologi, bentuk bangunan diperkirakan berteras dengan konstruksi kayu pada bangunan atas. Pertimbangan ini didasari adanya perbedaan ketinggian temuan struktur atas dan bawah dengan selisih ketinggian 160 cm. Bangunan berteras semacam ini masih mentradisi di Bali yang lebih dikenal dengan bangunan gunung rata.
Memperhatikan material yang dipergunakan yaitu bata pecah dan batu kali, sepertinya merupakan material sisa dari pembuatan bangunan suci. Ini merupakan indikasi, kemungkinan bangunan tersebut merupakan bangunan profan, yang menurut kepercayaan bahwa material bangunan profan tidak boleh sama atau lebih baik dari bangunan suci. Memperhatikan lokasinya yang memilih tempat yang tinggi terkait dengan fungsi bangunan itu, secara hirarki merupakan permukaan tokoh keagamaan atau bangsawan (Ncuhi) pada masa itu. Indikasi ini diperkuat pula dengan temuan aktivitas keseharian yang terbuat dari keramik yang mempunyai nilai tinggi pada masa itu.
Sedangkan bangunan suci keagamaannya berada di Doro Bata yang letaknya di pusat kawasan dari keempat wilayah Doro Empana, Doro Ngao, Sambitangga, dan Doro Swete. Keberadaan keempat wilayah tersebut mengitari Doro Bata, dari empat arah penjuru mata angin yang terminologinya di Bali dikenal dengan konsep "nyatur desa". Dugaan ini diperkuat oleh pendapat yang menyebutkan situs hunian pada umumnya berada tidak jauh dari kawasan bangunan suci.

2. Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan)
Tanjungpura pernah menjadi bawahan Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk, seperti tertulis dalam naskah Negarakertagama dan prasasti di Waringin Pitu berangka tahun 1447.
“Politik ekspansi Majapahit dilakukan tidak hanya dengan kekuatan senjata tapi juga melalui perkawinan dengan anak raja setempat. Untuk Kerajaan Tanjungpura, Putri Junjung Buih (Dayang Potong) kawin dengan anak Raja Majapahit, Prabu Jaya. Melalui cara ini, Tanjungpra dapat ditaklukkan dan dijadikan ibukota negara bagian wilayah Tanjung Negara (sebutan Majapahit untuk Pulau Kalimantan waktu itu) pada tahun 1447 M..
Perkawinan anak Raja Majapahit dengan Putri Junjung Buih, Putri Yaparong memperoleh tiga anak,
1. Pangeran Prabu bergelar Raja Baparung mendirikan kerajaan Tanjungpura
2. Gusti Likar mendirikan Kerajaan Meliau
3. Pangeran Mancar mendirikan Kerajaan Tayan.
Setelah Raja Baparung wafat tahun 1481, anaknya Karang Tunjung naik takhta bergelar Panembahan Pudong Berasap. Pada tahun 1500, pemerintahan digantikan anaknya Panembahan Kalahirang. “Kemudian sekitar tahun 1501 kota Kerajaan Tanjungpura dipindahkan dari Benoa Lama (Desa Negeri Baru, Kelurahan Mulia Kerta) ke Kota Sukadana sebagai akibat perubahan sistem pemerintahan dan politik ekspansi kerajaan yang dipimpin Panembahan Kalahirang. Pada masa pemerintahannya hubungan perdagangan dengan kerajaan luar seperti Melaka, Majapahit, dan Tiongkok terjalin erat,” tulis Kamboja. Kemudian kesaksian kunjungan Laksamana Hang Tuah dari Kesultanan Melaka (Malaysia) sekitar tahun 1478 ke ibukota Majapahit, sudah tidak menemukan kemasyhuran bahkan memberikan kritik. Hang Tuah sendiri diminta Majapahit melawan Kesultanan Demak dan disanggupinya. Pertumpahan darah dengan salah seorang kerabat Kesultanan Demak memperoleh azimat pusaka keris Tameng Sari (Perisai Jiwa ).