Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan Dikaitkan dengan Nilai-nilai Pancasila Dalam pembangunan nasional pasti dibutuhkan suatu kerangka pemikiran yang melandasi pembangunan nasional itu sendiri. Oleh karena itu, pancasila dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional. Namun demikian, dari kata-kata Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan akan tercipta beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut: - Apa itu Paradigma? - Apa saja Nilai-nilai Pancasila yang dapat diterapkan sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan? - Mengapa Pancasila dapat dijadikan Paradigma Pembangunan Nasional? Orang yang pertama kali menyatakan istilah paradigma adalah Thomas Kuhn, sedangkan arti dari pardigma adalah kerangka pemikiran. Pembangunan Nasional tidak memiliki arti yang sempit hanya membangun fisiknya saja. Pembangunan Nasional memiliki arti yang luas yaitu membangun masyarakat Indonesia seutuhnya. Pancasila dapat dijadikan paradigma pembangunan Nasional karena nilai-nilai pancasila dapat diterapkan dan sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam pembangunan Nasional harus mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pada undang-undang alinea ke-IV telah tercantum tujuan dari Negara Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencapai masyarakat adil dan makmur. Dan dalam upaya membangun Indonesia seutuhnya itulah diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan nasional bidang sosial dan budaya, pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pancasila, sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Dalam upaya membangun masyarakat seutuhnya, maka hendaknya juga berdasarkan pada sistem nilai dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berdasar pada sila ketiga dari pancasila, yaitu persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya yang beragam di seluruh nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Diperlukan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Sedangkan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan, memiliki arti bahwa untuk mencapai terciptanya masyarakat hukum diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Hal itu disebabkan karena Negara juga memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan wilayah negaranya. Nilai-nilai pancasila dalam penerapan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan adalah :
a. Sila pertama dan kedua: pertahanan dan keamanan Negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Sila Ketiga: pertahanan dan keamanan Negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga dalam seluruh warga sebagai warga Negara.
c. Sila keempat: pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin hak dasar persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan.
d. Sila kelima: pertahanan dan keamanan harus diperuntukan demi terwujudnya keadilan hidup masyarakat. Membaca buku acuan dan referensi lain, dapat dimengerti tentang Pancasila sebagai Pardigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan bahwa nilai-nilai dari pancasila dapat dijadikan suatu paradigma atau kerangka pemikiran dalam pembangunan nasional. Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di antaranya: (a) bidang politik, (b) bidang ekonomi, (c) bidang social budaya, (d) bidang ..hukum, (e) bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula Pancasila. Kelimanya itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok bahasan. Namun demikian agar sistematikanya menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai oleh ‘paradigma yang terakhir’ yaitu paradigma dalam kehidupan kampus. 1. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan. Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain: a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan. Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik: • Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari; • Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan; • Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan; • Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab; • Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah: ~ nilai toleransi; ~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan; ~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata); ~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3). b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila. Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum. c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga). Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah: (1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya; (3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat; (4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan; (5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu: (1) adanya perlindungan terhadap HAM, (2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila Pancasila dasar negara). Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat). Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim. Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut: 1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah). 2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi: a. Bertentangga yang baik b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama c. Membela mereka yang teraniaya d. Saling menasehati e. Menghormati kebebasan beragama. Lima prinsip tersebut mengisyaratkan: 1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama; 2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama. Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi. Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat. Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya. 2. Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupam Kampus Menurut saya, implementasi pancasila sebagai paradigma kehidupan kampus adalah seperti contoh-contoh paradigma pancasila diatas kehidupan kampus tidak jauh berbeda dengan kehidupan tatanan Negara. Jadi kampus juga harus memerlukan tatanan pumbangunan seperti tatanan Negara yaitu politik, ekonomi, budaya, hukum dan antar umat beragama. Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka sebagai makhluk pribadi sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa,dan kehendak. Sebagai mahasiswa yang mempunyai rasa intelektual yang besar kita dapat memanfaatkan fasilitas kampus untuk mencapai tujuan bersama. Pembangunanyang merupakan realisasi praksis dalam Kampus untuk mencapai tujuan seluruh mahsiswa harus mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subyek pelaksana sekaligus tujuan pembangunan. Oleh karena itu hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pembangunan pengembangan kampus itu sendiri. Pancasila sebagai Paradigma dalam Pembangunan Nasional dan Aktualisasi Diri 01 Apr Pendahuluan Pengertian Paradigma Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul “The Structure Of Scientific Revolution”, paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam ilmu-ilmu sosial manakala suatu teori yang didasarkan pada suatu hasil penelitian ilmiah yang mendasarkan pada metode kuantitatif yang mengkaji manusia dan masyarakat berdasarkan pada sifat-sifat yang parsial, terukur, korelatif dan positivistik, maka hasil dari ilmu pengetahuan tersebut secara epistemologis hanya mengkaji satu aspek saja dari obyek ilmu pengetahuan yaitu manusia. Dalam masalah yang populer istilah paradigma berkembang menjadi terminology yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas serta tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dari suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan & pendidikan. A. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia” hal ini merupakan tujuan Negara hukum formal, adapun rumusan “Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” hal ini merupakan tujuan negara hukum material, yang secara keseluruhan sebagai tujuan khusus atau nasional. Adapun tujuan umum atau internasional adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila. Unsur-unsur hakikat manusia “monopluralis” meliputi susunan kodrat manusia, terdiri rokhani (jiwa) dan jasmani (raga), sifat kodrat manusia terdiri makhluk individu dan makhluk sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan. Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain: a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan. Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. B. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. C. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur rohani (jiwa) manusia meliputi aspek akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan potensi rohaniah manusia dalam hubungannya dengan intelektualitas, rasa dalam bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moral (etika). Tujuan yang esensial dari Iptek adalah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga Iptek pada hakekatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai. Pengembangan Iptek sebagai hasil budaya manusia harus didasarkan pada moral Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. - Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkomplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional, antara akal, rasa dan kehendak. Berdasarkan sila ini Iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan dan diciptakan tetapi juga dipertimbangkan maksud dan akibatnya apakah merugikan manusia dengan sekitarnya. - Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan Iptek harus bersifat beradab. Iptek adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan bermoral. - Sila Persatuan Indonesia, mengkomplementasikan universalia dan internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila yang lain. Pengembangan Iptek hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa serta keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat manusia di dunia. - Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mendasari pengembangan Iptek secara demokratis. Artinya setiap ilmuwan harus memiliki kebebasan untuk mengembangkan Iptek juga harus menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka untuk dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan dengan penemuan ilmuwan lainnya. - Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengkomplementasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam lingkungannya. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUDHANKAM Hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pengembangan POLEKSOSBUDHANKAM. Pembangunan hakikatnya membangun manusia secara lengkap, secara utuh meliputi seluruh unsur hakikat manusia monopluralis, atau dengan kata lain membangun martabat manusia. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUDHANKA E. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. F. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. G. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hankam Pertahanan dan Keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Pertahanan dan Keamanan negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan rakyat sebagai warga negara. Pertahanan dan keamanan harus menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan dan Hankam diperuntukkan demi terwujudnya keadilan dalam masyarakat agar negara benar-benar meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan kekuasaan. I. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Negara Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab. Reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan kearah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa orde lama maupun orde baru. Proses reformasi walaupun dalam lingkup pengertian reformasi total harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas dan merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 1. Gerakan Reformasi Pelaksanaan GBHN 1998 pada Pembangunan Jangka Panjang II Pelita ke tujuh bangsa Indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis ekonomi Asia terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik menjadi goyah. Sistem politik dikembangkan kearah sistem “Birokratik Otoritarian” dan suatu system “Korporatik”. Sistem ini ditandai dengan konsentrasi kekuasaan dan partisipasi didalam pembuatan keputusan-keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok militer, kelompok cerdik cendikiawan dan kelompok pengusaha oligopolistik dan bekerjasama dengan mayarakat bisnis internasional. Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama perubahan paket UU politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum. Yang lebih mendasar reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui Pemilu secepatnya. a. Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila Arti Reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation dengan akar kata reform yang artinya “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong”. Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan- penyimpangan. Misalnya pada masa orde baru, asas kekeluargaan menjadi nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat UUD 1945. 2. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu. Dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. 3. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi. 4. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan. 5. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang berketuhanan yang maha esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa. b. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi Menurut Hamengkubuwono X, gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideologi sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas maka suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme,brutalisme pada akhirnya menuju pada kehancuran bangsa dan Negara Indonesia. Maka reformasi dalam perspektif Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang reformatif artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat. Dalam mengantisipasi perkembangan jaman yaitu dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. 2. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum Setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan orde baru, salah satu subsistem yang mengalami kerusakan parah adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun penegaknya dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan. Kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya, politik, ekonomi dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang mengalami kerusakan tersebut. Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut staatsfundamental. Sumber hukum positif di Indonesia tidak lain adalah Pancasila. Hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, maka hukum harus selalu diperbarui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat. Sebagai cita-cita hukum, Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi regulatif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum itu sendiri. Fungsi regulatif Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif sebagai produk yang adil ataukah tidak adil. Sebagai staatfundamentalnorm, Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, sumber hukum formal yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya, misalnya UU, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah. Sumber hukum material yaitu suatu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum. Jika terjadi ketidakserasian atau pertentangan satu norma hukum dengan norma hukum lainnya yang secara hierarkis lebih tinggi apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya, berarti terjadi inkonstitusionalitas (unconstitutionality) dan ketidak legalan (illegality) dan karenanya norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum. Dasar Yuridis Reformasi Hukum Reformasi total sering disalah artikan sebagai dapat melakukan perubahan dalam bidang apapun dengan jalan apapun. Jika demikian maka kita akan menjadi bangsa yang tidak beradab, tidak berbudaya, masyarakat tanpa hukum, yang menurut Hobbes disebut keadaan “homo homini lupus”, manusia akan menjadi serigala manusia lainnya dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba. UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktek penyelenggaraan negara bersifat multi interpretable (penafsiran ganda), dan memberikan porsi kekuasaan yang sangat besar kepada presiden (executive heavy). Akibatnya memberikan kontribusi atas terjadinya krisis politik serta mandulnya fungsi hukum dalam negara RI. Berdasarkan isi yang terkandung dalam Penjelasan UUD 1945, Pembukaan UUD 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 secara normatif. Pokok-pokok pikiran tersebut merupakan suasana kebatinan dari UUD dan merupakan cita-cita hukum yang menguasai baik hukum dasar tertulis (UUD 1945) maupun hukum dasar tidak tertulis (Convensi). Selain itu dasar yuridis Pancasila sebagai paradigma reformasi hukum adalah Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yang berarti sebagai sumber produk serta proses penegakan hukum yang harus senantiasa bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan secara eksplisit dirinci tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bersumber pada nilai- nilai Pancasila. 3. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik Landasan aksiologis (sumber nilai) sistem politik Indonesia adalah dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi “……maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataannya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana kerokhanian berdasarkan nilai-nilai tersebut. Berdasarkan semangat dari UUD 1945 esensi demokrasi adalah : 1. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. 2. Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. 3. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan karenanya harus tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. 4. Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri maupun bersama- sama lembaga lain kekuatannya berada di bawah Majelis Permusyawatan Rakyat atau produk-produknya Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan hanya mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan penguasa. Pada era ekonomi global dewasa ini dalam kenyataannya tidak mampu bertahan. Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk, sehingga kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh rakyat. Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut : 1. Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan program “social safety net” yang popular dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka pemerintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknum pemerintah masa orde baru yang melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan dan kepastian usaha. 2. Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan menciptakan kondisi kepastian usaha, yaitu dengan diwujudkan perlindungan hukum serta undang-undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan penyehatan dalam sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan merupakan jantung perekonomian. 3. Transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural transformation). Transformasi struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi ekspor. Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan yang ikut dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus segera diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi AKTUALISASI PANCASILA DAN UUD 1945. A. AKTUALISASI PANCASILA. → Aktualisasi berasal dari kata aktual, yang berarti betul – betul ada, terjadi, atau sesungguhnya. → Aktualisasi Pancasila adalah bagaimana nilai – nilai Pancasila benar – benar dapat tercermin dalam sikap dan perilaku seluruh warga negara mulai dari aparatur dan pimpinan nasional sampai kepada rakyat biasa. → Nilai – nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat Pancasila adalah bersifat universal, tetap dan tak berubah. Nilai – nilai tersebut dapat dijabarkan dalam setiap aspek dalam penyelenggaraan Negara dan dalam wujud norma – norma, baik norma hukum, kenegaraan, maupun norma – norma moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh setiap warga Negara Indonesia. → Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu : Aktualisasi objektif dan aktualisasi subjektif. 1. Aktualisasi Pancasila yang objektif adalah pelaksanaan Pancasila dalam bentuk realisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun semua bidang kenegaraan lainnya. 2. Aktualisasi Pancasila yang subyektif adalah pelaksanaan dalam sikap pribadi, perorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa, dan setiap orang Indonesia. B. TRIDARMA PERGURUAN TINGGI. * Pembangunan di Bidang Pendidikan yang dilaksanakan atas falsafah Negara Pancasila diarahkan untuk membentuk manusia – manusia pembangunan yang berjiwa Pancasila, membentuk manusia – manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsa dan negara dan mencintai sesama manusia. * Peranan perguruan tinggi dalam usaha pembangunan mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pendidikan dan pegajaran di atas perguruan tingkat menengah berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia dengan cara ilmiah yang meliputi : pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, yang disebut Tri Darma Perguruan Tinggi. ♣ Peningkatan peranan Perguruan Tinggi sebagai satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam usaha pembangunan selain diarahkan untuk menjadikan Perguruan Tinggi sebagai pusat pemeliharaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, juga mendidik mahasiswa untuk berjiwa penuh pengabdian serta memiliki tanggung jawab yang besar pada masa depan bangsa dan Negara, serta menggiatkan mahasiswa, sehingga bermanfaat bagi usaha pembangunan nasional dan pengembangan daerah. C. BUDAYA AKADEMIK * Budaya merupakan nilai yang dilahirkan oleh warga masyarakat yang mendukungnya. * Budaya akademik merupakan nilai yang dilahirkan oleh masyarakat akademik yang bersangkutan. * Pancasila merupakan nilai luhur bangsa Indonesia. * Masyarakat akademik di manapun berada, hendaklah perkembangannya dijiwai oleh nilai budaya yang berkembang di lingkungan akademik yang bersangkutan. Suatu nilai budaya yang mendorong tumbuh dan berkembangnya sikap kerja sama, santun, mencintai kemajuan ilmu dan teknologi, serta mendorong berkembangnya sikap mencintai seni. D. KAMPUS SEBAGAI MORAL FORCE PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAM * Kampus merupakan wadah kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, sekaligus merupakan tempat persemaian dan perkembangan nilai – nilai luhur. * Kampus merupakan wadah perkembangan nilai – nilai moral, di mana seluruh warganya diharapkan menjunjung tinggi sikap yang menjiwai moralitas yang tinggi dan dijiwai oleh pancasila. * Kampus merupakan wadah membentuk sikap yang da pat memberikan kekuatan moral yang mendukung lahir dan berkembangnya sikap mencintai kebenaran dan keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kesimpulan Pancasila sebagai paradigma pembangunan merupakan suatu sumber nilai, kerangka piker, model, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan pembangunan. Yang meliputi pembangunan politik, IPTEK, pengembangan bidang politik, poembangunan ekonomi, pembangunan social budaya, pengembangan hankam, pembangunan pertahanan keamanan, dan sebagai reformsi, baik itu reformasi hukum ataupun reformasi politik. Semuanya ditujukan untuk membuat menjadikan bangsa yang semakin berkembang dan masyarakat yang semakin mapan. Pancasila sebagai aktualisasi diri yang berarti betul-betul ada, terjadi atau sesungguhnya. Sehingga terbentuklah aktualisasi objektif dan subjektif. Aktualisasi Pancasila yang objektif adalah pelaksanaan Pancasila dalam bentuk realisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun semua bidang kenegaraan lainnya. Aktualisasi Pancasila yang subyektif adalah pelaksanaan dalam sikap pribadi, perorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa, dan setiap orang Indonesia. Aktualisasi diripun meliputi mencakup dalam tridarma perguruan tinggi, budaya akademik dan lingkungan kampus sebagai moral force pengembangan hukum dan ham. Yang mencerminkan bahwa aktualisasi diri itupun benar-benar ada dan terjadi disekitar kita.