Tak Cukup Hanya Cinta
(Sumber : http://bundanaila.blogspot.com)
“Sendirian aja dhek Lia?
Masnya mana?”, sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang
mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek
perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal
tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek
ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha
juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu
dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-masing membuat kami
jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat
ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa,
kami jadi lebih cepat akrab.
“Kebetulan Mas Adi
sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi sendiri”, jawabku sambil
memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal
yang lain. “Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang
mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis
taklim”, raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah seperti orang yang
kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya
mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit
risih juga karena semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan
rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak
orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran
dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah
belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari
pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan
termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6
tahun lamanya.
“Dhek Lia, ndak
buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu”, tiba-tiba
mbak Artha mengagetkanku. ” Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi
free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol”, jawabku
sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu komplek
dengan Mesjid.
Dengan
suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang
kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo
yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.
“Aku dan mas Bimo kenal
sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun
sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga
yang biasa-biasa saja dalam hal agama”, mbak Artha mulai bertutur.
“Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk
mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah mahasiswa gaul, tapi
cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak
meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami
jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang
sabar, pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku,
Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak
bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada
pilihan lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan
syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan
mas Bimo untuk menikah”.
“Mbak nggak minta
petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?”, tanyaku penasaran. “Itulah
dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti
nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang
akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku
sendiri”
“Pentingnya ilmu tentang
pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah baru aku
sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri.
Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria agama saat memilih
mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar
dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan
puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari bersama-sama itu
pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku Cuma wanita
biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan atau
laki-laki yang pemahaman agamanya baik”, papar mbak Artha sambil
tersenyum getir.